Wednesday, February 23, 2011

Dongeng tentang Cronobacter sakazakii spp

Sedikit intro: saya berkenalan dengan Cronobacter spp pertama kali pada musim panas 2008 di Jerman. Kebetulan, waktu itu saya yang ketiban sampur untuk melaksanakan proyek Cronobacter ini. Gara-garanya teman saya masih harus ambil modul di Jerman untuk 3 minggu, padahal proyeknya harus segera dimulai karena... ah sudahlah, panjang. To make the story short, berkenalanlah saya dengan Cronobacter itu via papers yang dikirimkan (calon, waktu itu) co-supervisor thesis saya.

Topik thesis saya adalah bagian dari penelitian doktoral seorang calon doktor (ya iyalah!) yang kemudian belakangan saya ketahui punya supervisor yang namanya Carol Iversen, yang sedang penelitian dan masuk dalam tim Cronobacter-nya Fanning di UCD, Dublin. Jadi bisa dibilang, saya pernah ada di piramida terbawahnya Iversen. Bagi yang familiar dengan paper-paper terkait Cronobacter, pasti sudah kenyang dengan nama ini.



Sedikit info, Brenner (1974), Lin & Beuchat (2007), Caubilla-Barron dkk, (2007), dan Iversen dkk (2007) melakukan hibridisasi DNA-DNA, biotyping, pola ketahanan antibiotik, AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphisms) terhadap Cronobacter (waktu itu masih E. sakazakii), nah akhirnya Iversen, dkk., berdasarkan penelitiannya, mempropose E. sakazakii untuk di reklasifikasi menjadi 4 spesies, 1 genomospecies, dan 2 subspecies dalam genus baru, Cronobacter, dalam famili Enterobacteriaceae.

Kenapa ini jadi ikut-ikutan diceritakan? Karena nantinya saya akan ketemu langsung sama Carol di First International Seminar on Cronobacter di UCD yang dihadiri oleh orang-orang dari FDA, WHO, berbagai industri susu besar di dunia, dan para peneliti yang concern tentang Cronobacter. Bahkan akhirnya deklarasi kesepakatan penggunaan term "Cronobacter" oleh grup peneliti Cronobacter sedunia ini dilakukan disini. Whoa...

Oh ya saya juga ketemu sama seorang peneliti dari Jerman (di seminar itu yang pake tutup kepala cuma tiga orang, ibu dari Malaysia, mbak dari Jerman ini, dan saya; jadinya semacam eye catching dan tiba-tiba ngobrol aja). Nah si mbak ini ternyata adalah researcher di salah satu industri susu besar dan dia sangat familiar dengan produk-produk dan pabriknya di Indonesia dan juga tentang hubungannya dengan Cronobacter. Jadilah kami banyak bertukar cerita dan kartu nama. (Kok ya waktu itu nggak mau ya ditawarin kerja di Jerman?) *halaaah =)) **terdengar lagu Indonesia Raya**

Seingat saya, Cronobacter ini bakteri yang 'bandel'. Jadi dia ini sebenernya nggak jagoan-jagoan amat, tapi dia mampu untuk nempel dan membentuk biofilm di silikon, latex, polikarbonat, stainless steel, dan PVC. Tahu sendiri kan, kalau sudah membentuk biofilm, pastinya kemampuan resistensi dia akan bertambah besar. Sampai saat tesis saya ditulis dan dikumpulkan, belum diketahui secara pasti pathogenitas dan virulence factor Cronobacter ini. Walaupun diketahui bahwa Cronobacter mampu menghasilkan enterotoksin. Belum diketahui juga berapa minimal dosis infektifnya (mampus nggak loe pada... berasa pelajaran mikrobiologi umum & mikrobiologi makanan nggak siiiih? :P) Saat itu risk assessment nya FAO/WHO memperkirakan infected serving hanya mengandung 1 organisme saja. Yoi friend, satu saja. Alasannya apa? Alasannya karena akan ada pertumbuhan dan estimasi ini untuk menjaga sisi keamanannya saja, angka sesungguhnya akan jauh lebih rendah (tapi nggak tahu sejauh apa).

Ekologi dan transmisi-nya, pasti udah pada banyak baca tulisan-tulisan yang beredar kan? Nggak perlu lah aku tulis ulang.

Nah, studi yang dilakukan oleh Edelson-Mammel & Buchanan tahun 2004 melaporkan bahwa dengan mempersiapkan alias bikin susu formula pake air di suhu di atas 70 derajat C atau lebih akan mereduksi Cronobacter sebanyak log10 4 atau lebih. Sedangkan Osaili, dkk. pada 2007 menemukan bahwa iradiasi dengan dosis setidaknya 5,13kGy akan mereduksi Cronobacter sebanyak log10 3. Tentang iradiasi sendiri, katanya WHO asalkan dosis rata-rata kurang dari 10kGy nggak perlu treatment lebih lanjut, alias nggak berbahaya secara toksikologi.

Silahkan dikoreksi kalo data dongengnya kurang valid.
Demikian sekilat info pagi ini, selamat beraktivitas... :D
-----
Update: 23 Februari 2011, 19:38 WIB

Berhubung ternyata yang baca bukan hanya orang-orang yang pernah belajar MU dan MPP, saya tambah sedikit ya dongengnya... Dirangkum dari versi serius tulisan ini:

# Dinyatakan oleh FAO/WHO pada tahun 2004, produk susu formula akan menjadi tidak aman ketika produk tersebut terkontaminasi oleh bakteri pathogen dan/atau dilarutkan dengan air berkualitas buruk. Tolong dicatet disini ya Ibu-ibu, bahwasannya banyak juga bakteri pathogen yang bisa bertahan di dalam air. Dan di sekitar kita ada banyak pathogen2 berkeliaran, bukan hanya Cronobacter sakazakii. Ini contoh nama-nama tersangkanya (cantik-cantik euy namanya... cantik tapi beracun... kaya' siapa yaaaa? :P) Enterobacter agglomerans, E. cloacae, Klebsiella pneumoniae, Citrobacter freundii, C. diversus, Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Escherichia hermanii, Klebsiella oxytoca, K. ozaenae, Hafnia alvei, Rahnella aquatilis, Pantoea spp., dan Serratia spp. (Muytjens et al., 1988; FAO/WHO, 2004; Iversen & Forsythe, 2003; Estuningsih et al., 2006).

# Kenapa dari sekian banyaknya 'penjahat-penjahat bernama cantik itu C. sakazakii yang menjadi concern?
Karena walaupun kasusnya jarang ditemukan (digaris bawahi bukan tanpa maksud) C. sakazakii dapat menyebabkan infeksi saluran darah dan pusat saraf, dan penyakit-penyakit bernama rumit yang menyeramkan seperti meningitis, necrotizing enterocolitis (NEC), bacteraemia, dan kematian pada bayi. Bayi-bayi yang paling riskan terinfeksi adalah bayi-bayi yang lahir prematur, memiliki berat badan rendah, serta bayi-bayi yang kurang memiliki kekebalan tubuh karena lahir dari ibu yang positif terkena HIV. Oh ya, Gurtler et al. (2005) menemukan juga kasus C. sakazakii pada orang dewasa.

# Kasus C. sakazakii sudah sejak lama terjadi, hanya saja under-reported di berbagai negara. Mana aja sih negara-negara yang pernah punya kasus C. sakazakii?
Ini nih... Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, India, Belanda, New Zealand, Rusia, Urugua, dan Amerika Serikat (Muytjens et al., 1988); Republik Ceko (Postupa & Aldova, 1984); Indonesia (Estuningsih et al., 2006) dan Amerika Selatan (Witthuhn et al., 2007).

Jadi Nett... ngapain sih kamu nulis panjang-panjang nggak jelas gini? Intinya apa?

Begini teman-teman, saya prihatin dengan kondisi yang ribut-ribut gak jelas gara-gara masalah ini. (Oh ya, saya bisanya prihatin doang.) Tapi daripada prihatin nggak ada actionnya, saya mending bikin tulisan aja, siapa tahu dengan teman-teman mengenal lebih dekat si C. sakazakii ini, maka teman-teman lebih bisa memperlakukan bakteri ini sesuai dengan porsinya.

Bagi teman-teman yang punya baby dan minum susu formula, apa yang perlu dilakukan?
WHO sudah mengeluarkan guidelines bagaimana cara untuk mempersiapkan, menyimpan, dan menangani susu formula pada tahun 2007. (Yes, WHO baru mengeluarkan guidelinesnya pada tahun 2007, dan penelitian yang sekarang bikin heboh Indonesia itu dipublikasikan tahun 2006. Artinya apa saudara-saudara? Bahkan WHO pun.... Silahkan dilanjutkan sendiri.)

Berikut inti dari guidelines dimaksud:

  1. Good Hygiene Practice. Maksudnya apa? Maksudnya, jaga kebersihan saat mempersiapkan susu formula. Cuci tangan dulu pakai sabun, bersihkan permukaan tempat menyiapkan susu formula.
  2. Bersihkan dan sterilkan alat-alat yang digunakan untuk mempersiapkan dan menyajikan susu.
  3. Perhatikan temperatur air yang digunakan untuk melarutkan susu. Ketika susu dipersiapkan dengan suhu kurang dari 70C (maksudnya 70 derajat Celcius ya, susah nulisnya) maka hal ini cukup berbahaya karena: (a) C. sakazakii dalam jumlah kecil pun dapat menyebabkan penyakit, oleh karena itu sangat penting untuk memastikan bahwa semua sel C. sakazakii mati. (b) Ada kemungkinan C. sakazakii yang bertahan hidup akan berkembang ketika susu disimpan. Memang, jika mempersiapkan susu formula dengan suhu tinggi (lebih dari 70C) dalam waktu lama akan menyebabkan beberapa zat gizi yang sensitif terhadap panas rusak dan juga ada beberapa perubahan sifat pada susu formula, tapi dibandingkan dengan resiko terkena infeksi, mana yang akan dipilih?
  4. Penyimpanan susu yang telah dibuat. Sebaiknya, selalu hidangkan susu dalam kondisi fresh. Kalaupun terpaksa harus disimpan, misalnya mau bepergian, pastikan suhu air yang digunakan untuk menyiapkan adalah lebih dari 70C dan segera didinginkan dan setelah itu disimpan pada suhu kurang dari 5C selama kurang dari 24 jam.
  5. Menghangatkan kembali susu yang disimpan. Menghangatkan kembali susu yang telah disimpan dalam waktu lama bisa menyebabkan bakteri berbahaya untuk tumbuh. Jadi, kalau mau menghangatkan jangan lama-lama, dan setelah itu jangan ditunda-tunda penyajiannya.
  6. Pemindahan susu yang telah dibuat. Jika terpaksa dilakukan, harus segera didinginkan dan disimpan dalam pendingin sebelum dan selama perjalanan.
  7. Penyimpanan. Susu yang telah dibuat harus dibuang setelah 2 jam, kecuali kalau disimpan dalam kulkas sejak setelah dibuat. Jangan sekali-kali menghangatkan atau mencampur sisa susu.


Nah.. itu kata WHO. Terus gimana dengan penyiapan di rumah?
Ternyata oh ternyata, hasil studi Labiner-Wolfe dkk. (2008) yang melakukan studi di USA menunjukkan bahwa:

  • Ibu-ibu yang memberi susu formula pada bayinya tidak mendapatkan instruksi bagaimana cara membuat susu formula (77%) atau cara penyimpanannya (73%) dari ahli kesehatan.
  • 30% dari ibu-ibu itu tidak membaca petunjuk pembuatan yang dianjurkan dari label di kemasan susu.
  • 38% mengira bahwa susu bubuk (yang tidak steril) dan susu siap saji (yang steril) tidak mungkin mengandung kuman.
  • 85% percaya bahwa mengikuti prosedur penyimpanan susu yang benar adalah sangat penting.


Selanjutnya, dari ibu-ibu yang anaknya paling kecil umurnya ditemukan bahwa:

  • 55% tidak mencuci tangan sebelum mempersiapkan susu formula,
  • 32% tidak mencuci dot diantara pemakaian yang satu dan berikutnya,
  • 35% memanaskan susu dalam botol di dalam microwave (yang suhunya belum tentu terukur),
  • 6% tidak selalu membuang susu formula yang sudah dibiarkan/tidak digunakan selama lebih dari 2 jam.

Persentase yang mirip juga ditemukan pada ibu-ibu yang bayinya agak lebih gede (Duh, Jeng Labiner-Wolfe dan teman-temannya, kenapa sih pake acara dipisah-pisah penelitiannya.... kasian yang baca tauuuukkk.... ^_^)

Soooo...

  • Adakah anda-anda (atau istri anda-anda) yang masih menerapkan praktek tidak aman ini?
  • Adakah yang masak air dengan niat bikin susu formula buat si adek dan kemudian ditinggal nonton sinetron terus lupa dan akhirnya 45 menit kemudian baru deh susunya dibikin tanpa peduli suhunya? (Ah, airnya kan mateng tadi...)
  • Adakah yang ketika masak air satu cangkir dan masak air 5 cangkir kemudian keduanya ditinggal 30 menit kemudian mengira suhu kedua air di dalem ceret itu sama? (Ingat pelajaran fisika jaman SMP?)


Kalau masih ada, ada baiknya mulai mempraktekkan safety guidelines tersebut. Kalau bukan diri kita yang sayang sama diri kita dan keluarga kita sendiri, siapa lagi? Ya nggak? :)

Oh iya, paper yang bikin heboh itu judulnya: "Enterobacteriaceae in dehydrated powdered infant formula manufactured in Indonesia and Malaysia." Tetangga sebelah kayaknya adem ayem wae, kenapa di tempat kita heboh macem gini... 5 years after the event, beibeh.... 5 years.

No comments:

Post a Comment